Rabu, 30 Juni 2010

PLEURODESIS


Definisi


Pleurodesis berasal dari kata yunani yaitu pleura (selaput yang meliputi dinding luar paru dan dinding dalam dinding toraks) dan desis (melekatkan).

Pleurodesis dimaksudkan untuk menempelkan pleura visceral dan parietal, dalam usaha mencegah akumulasi baik udara (pada pneumothoraks) atau cairan (pada efusi pleura) di dalam rongga pleura.

Indikasi

Indikasi paling sering adalah efusi pleura ganas, yang lebih jarang adalah pneumothorax berulang dan efusi pleura jinak. Di amerika Serikat diperkirakan 1,3 juta pasien setiap tahunnya menderita efusi pleura yang disebabkan berbagai kondisi. Penyebab yang paling sering dari efusi pleura adalah gagal jantung kongestif, pneumonia dan keganasan yang meliputi paling tidak 66% seluruh kasus. Hamper 50 % efusi pleura adalah ganas, sedangkan kanker paru metastasis kanker payudara dan limfoma merupakan penyebab dari paling sedikitnya 75% seluruh efusi pleura ganas.
Metode

Metode pleurodesis termasuk instilasi intrapleural dengan bahan sklerosan, abrasi melalui bedah thoraks dengan spons kering atau dengan povidon iodine dan videotorakoskopi. Instilasi bahan sklerosan dilakukan dapat melalui kateter berdiameter besar atau yang lebih nyaman bagi pasien dengan kateter thoraks berukuran kecil dan akhir-akhir ini melalui videotorakoskopi.
Mekanisme

Mekanisme pleurodesis didasarkan pada bahan kimiawi yang dimasukan kedalam rongga pleura,bahan tersebut akan mencederai lapisan sel mesotel sehingga mengiritasi permukaan pleura dan menimbulkan reaksi peradangan hingga akan memicu pembentukan kolagen (fibrogenesis)

Instilasi bahan kimiawi kedalam rongga pleura akan mengakibatkan inflamsi atau reaksi sclerosis yang mengakibatkan terjadinya adesi antara paru dengan permukaan dada bagian dalam sehingga terjadi obliterasi rongga pleura dan mencegah akumulasi cairan
Bahan atau Obat untuk pleurodisis

Bahan sclerosis pleura yang ideal harus mudah diberikan, aman, tidak mahal dan tersedia secara luas.

Bahan atau obat yang digunakan untuk pleurodesis antara lain tetrasiklin, doksisiklin, minoksiklin, eritromisisn, natrium hidroksida, povidon Iodine, emas radioaktif, talk, doksorubisin, kuinakrin,mekloretamine, pemasangan kateter toraks sendiri, bleomisin, corynebacterium parvum, mitokxantron, sitarabin, sisplatin, darah penderita sendiri (autologous blood), perak nitrat,fibrin glue.
1.Nitrogen mustard

Nitrogen mustard adalah obat antineoplastik yang paling sering digunakan dan cukup efektif sampai 87% (Dekade 1960-1970). Semula diduga bahwa efikasi obat antineoplastik disebabkan oleh efek antitumornya, ternyata terbukti bahwa pleurodesis terjadi walau tumornya tidak terkontrol sehingga pleurodesis yang terjadi dihubungkan dengan efek fibrosis obat antitumor tersebut.
2.Mitoxantron

Merupakan obat antineoplastik yang digunakan sebagai bahan pleurodesis, namun tidak lagi direkomendasikan karena dosis yang dipakai harus cukup tinggi untuk dapat menimbulkan perlekatan pleura parietal dan visceral.

3.Tetrasiklin

Pada decade 1980 tetrasiklin adalah obat yang paling sering digunakan terutama karena penelitian pada kelinci terbukti merupakan bahan yang paling efektif

4.Talk

Talk dapat diberikan baik dalam bentuk aerosol (Insuflasi) atau suspensi (slurry)

5.Darah pasien sendiri

Memberikan darah pasien sendirir (autoglous blood) dengan dosis 1ml/kg BB, talk slurry 70 mg/ml/kg BB dan doksisiklin 10 mg/ml/kg BB melalui kateter thoraks.

6.Fibrin glue

Fibrin glue disiapkan dalm dua spuit, yaitu satu spuit berisi 2500 unit trombinbovine topical dalam 5 ml kalsium klorida 10% dan satu spuit lagi berisi 5 ml cryoprecipitate.

7.OK-432

Pada penelitian menggunakan OK-432 (preparat streptococcus pyogenes) dan doksorubisin pada 20 pasien dengan efusi pleura ganas yang telah terbukti secara sitologis. Kateter toraks 20F diinsersikan kedalam rongga pleura dengan anastesi local, kateter dihubungkan dengan sistim salir gembok air (WSD). Setelah 4 jam klem dibuka dan WSD dihubungkan dengan continous suction sampai jumlah cairan pleura < 100-150 ml/hari.

8.Bleomicin

Bleomicin 60 mg dalam 100 CC Nacl 0,9%.

Dengan tahapan sebagai berikut : melalui kateter toraks ukuran 28F atau 32F yang dipasang dengan anestesi local, kemudian WSD dihubungkan dengan Continous Suction dan dipertahankan sampai cairan pleura 100ml/hari dan foto toraks bersih. Bahan sklerosan diinstilasi kedalam rongga pleura dan WSD di klem, posisi pasien diubah-ubah selam 2 jam; kateter toraks dilepas bila cairan pleura < 100ml/hari.

9.Talk slurry

Menggunakan Talk slurry 4 gram, paket talk steril disiapkan dengan 30 ml Nacl 0,9% dan 10 ml lignokain. Talk dicampur dan diaduk dengan perlahan dalam kondisi steril kemudian dimasukan kedalam spuit 50 ml. prosedur secara bedside, campuran tersebut dimasukan kedalam kateter torak kedalam rongga pleura, kemudian kateter dibilas dengan Nacl 0,9% secukupnya dan WSD diklem. Pasien diperintahkan untuk tidur dalam posisi lateral dekubitus kanan dan kiri setiap 15 menit dalam 2 jam, lalu kateter toraks dibuka klemnya dan dihubungkan dengan continous suction dengan tekanan-20 cm H20 selama 24 jam.
Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada seluruh bahan pleurodesis adalah nyeri dada dan demam.
(Dikutip dari buku Pulmonologi Intervensi Dan Gawat Darurat Napas, FKUI 2010, Hal 162-170)

Minggu, 27 Juni 2010

PENYAKIT PARU DISERTAI DENGAN KELAINAN ANATOMI JANTUNG (DEXTROCARDIA)

DEXTROCARDIA


Definisi
Dextrocardia adalah suatu kondisi dimana jantung terletak di sisi kanan dada bukannya kiri. Hal ini dapat terjadi pada saat lahir (kongenital) atau disebabkan oleh penyakit atau pembedahan.

Selama minggu-minggu awal kehamilan, jantung bayi berkembang. Kadang-kadang, karena alasan-alasan yang tidak jelas, hati berkembang di sisi kanan bukannya dada sebelah kiri.
Sebagian besar melibatkan cacat lainnya dari hati dan daerah perut. Jenis yang paling sederhana, salah satu jenis dextrocardia, adalah cermin hati normal. Biasanya dalam kasus ini, organ-organ perut dan paru-paru juga juga terbalik letaknya meskipun organ tersebut normal. Sebagai contoh, hati akan berada di sisi kiri, bukan kanan.
Beberapa orang dengan bayangan cermin dextrocardia punya masalah dengan bulu-bulu halus (silia) yang menyaring udara masuk ke hidung dan saluran udara. Kondisi ini disebut sindrom Kartagener.
Gejala

Tidak ada gejala dextrocardia jika jantung normal. Kondisi yang mungkin termasuk dextrocardia dapat menyebabkan gejala berikut:
* Kulit kebiruan
* Kesulitan bernapas
* Kegagalan untuk tumbuh dan bertambah berat badan
* Kelelahan
* Penyakit kuning (kulit dan mata kuning)
* Kulit pucat
* Infeksi paru-paru




Kasus pasien dengan kelainan jantung disertai dyspnea e.c Tb paru


Pasien Tn.H datang ke RS Paru dengan keluhan sesak napas dan batuk berdahak. Saat datang pasien merasa lemah tidak ada kemampuan untuk berdiri atau berjalan, setiap aktifitasnya dibantu oleh keluarga, pasien merasa cepat lelah dan frekuensi napasnya meningkat apabila melakukan aktivitas yang berlebihan, beberapa hari yang lalu pasien sering merasa demam disertai dengan banyak keluar keringat terutama saat beraktivitas, nafsu makan menurun dan berat badan menurun drastis. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik didapat kelainan :
Keadaan Umum lemah
Vital Sign TD 140/70 Nadi 138 respirasi 28 Suhu 36.8 dan Saturasi Oksigen 98%,
Anemia, JVP meningkat.
Hasil labHb 5,9 leukosit 1200 Hematokrit 17.7%, Trombosit 87 000.
Hasi pemerikasaan foto thorax menunjukan adanya kelainan posisi jantung disebelah kanan dan kelainan paru curiga ke arah TBC Paru disertai adanya efusi pleura minimal


Foto Thorax Pasien dengan Dextrocardia dan Kelainan Paru

Jumat, 25 Juni 2010

RSP ROTINSULU

PROFIL RS PARU Dr H.A.ROTINSULU BANDUNG

Rumah Sakit Paru Dr. H.A. Rotinsulu terletak di jalan Bukit Jarian no.40, termasuk dalam area jalan Ciumbuleuit, Kota Bandung, Jawa Barat. Rumah Sakit ini berdiri dan diresmikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935, kemudian merawat penderita penyakit paru-paru mulai kurun waktu tahun 1945-1955 sampai dengan sekarang.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 190/MENKES/SK/II/2004 tanggal 26 Februari 2004 tentang organisasi dan tatakerja rumah sakit paru, RSP Dr. H.A. Rotinsulu mempunyai kedudukan sebagai unit pelaksana teknis di Lingkungan Departemen Kesehatan yang bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pelayanan Medik. Kini, RSP berjalan sebagai rumah sakit pemerintah yang setara dengan Rumah sakit khusus tipe A.

Untuk meningkatkan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat, pada tanggal 26 Juni 2007 Rumah Sakit Paru Dr. H. A. Rotinsulu resmi ditetapkan menjadi rumah sakit yang menggunakan PPK-BLU. PPK-BLU memberi fleksibilitas dan dalam pengelolaan keuangan agar lebih efektif dan efisien dalam menunjang tugas dan fungsi rumah sakit.

Visi dan Misi RSP Dr. H. A. Rotinsulu :

· Visi : Menjadi RS Paru dengan pelayanan prima.

· Misi : Memberikan pelayanan prima dengan berorientasi pada kepuasan pelanggan, meningkatkan kualitas SDM yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan bermoral tinggi, meningkatkan sumber pendapatan dan melakukan efisiensi anggaran.
Motto : Paru Sehat Harapan Kami 

Rumah Sakit Paru Dr. H. A. Rotinsulu menyediakan tujuh unit Pelayanan,yaitu:

1.  Pelayanan Medis, terdiri dari:

a.Pelayanan Rawat Jalan, meliputi:Poli Umum, Poli TB Paru, Poli Asma/PPOK, Poli Paru, Poli Anak dan    Poli Eksekutif. Pada tahun 2009, pelayanan rawat jalan bertambah satu dengan dibukanya poli gigi.

b.Pelayanan Rawat Darurat 24 jam yang mengutamakan pelayanan kedaruratan paru.

c.Pelayanan Rawat Inap, diselenggarakan pada ruangan-ruangan perawatan menurut tingkatan kelas perawatan. Kapasitas tempat tidur yang tersedia di rawat inap sebanyak 100 tempat tidur.

2. Pelayanan Penunjang Medik, terdiri dari : Laboratorium, Radiologi, Rehabilitasi Medik, Farmasi, Bedah Sentral, dan CSSD.

3. Pelayanan Penunjang Non Medik, terdiri dari : Rekam Medik, Gizi, Laundry, Incenerator, IPAL dan Ambulance.

4. Pelayanan Keperawatan

5. Pelayanan Administrasi Umum,

6. Penyelenggaraan kependidikan, melalui seksi Pendidikan dan Pelatihan, RS Paru Dr. H. A. Rotinsulu menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pelatihan bekerjasama dengan institusi-institusi, antara lain: Fakultas Kedokteran Maranatha, Politeknik Kesehatan KESLING Bandung, Politeknik PIKSI GANESHA, Akademi Keperawatan Sumedang, Akademi Keperawatan AURI, Akademi Perekam Medis Kehatan Bandung.

7. Pelayanan Rujukan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 250/MENKES/PER/III/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja RS Paru Dr. H. A. Rotinsulu Bandung Bab I Pasal 1, RS Paru Dr. H. A. Rotinsulu merupakan Pusat Rujukan Nasional di bidang kesehatan paru dengan pelayanan unggulan pengembangan pelayanan pemeriksaan biomolekuler penyakit paru. Sebagai pusat rujukan, rumah sakit menerima rujukan dari dokter, rumah sakit lain, Puskesmas, dan Balai Pengobatan.


Selasa, 22 Juni 2010

INFUS FLEBITIS/BENGKAK



Flebitis, apa penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya?

Secara sederhana flebitis berarti peradangan vena. Flebitis berat hampir selalu diikuti bekuan darah, atau trombus pada vena yang sakit. Kondisi demikian dikenal sebagai tromboflebitis. Dalam istilah yang lebih teknis lagi, flebitis mengacu ke temuan klinis adanya nyeri, nyeri tekan, bengkak, pengerasan, eritema, hangat dan terbanyak vena seperti tali. Semua ini diakibatkan peradangan, infeksi dan/atau trombosis.
Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam patogenesis flebitis, antara lain:
(1) faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan;
(2) faktor-faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi; serta
(3) agen infeksius.
Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka flebitis mencakup, usia, jenis kelamin dan kondisi dasar (yakni. diabetes melitus, infeksi, luka bakar)
Suatu penyebab yang sering luput perhatian adalah adanya mikropartikel dalam larutan infus dan ini bisa dieliminasi dengan penggunaan filter
Flebitis masih merupakan masalah yang penting. Pada pasien diabetes dan penyakit infeksi, dibutuhkan lebih banyak perhatian.

Berapa sering flebitis yang disebabkan infus?Kekerapan flebitis akibat infus sangat bervariasi menurut peneliti, kondisi klinis dan karakteristika pasien.
35%
Pose-Reino dkk
Flebitis pada pasien penyakit dalam

18%
Nordenström J, Jeppsson B, Lovén, Larsson J.
83 pasien bedah yang mendapat PPN (nutrisi parenteral perifer). Semua larutan nutrisi diberikan selama 24 jam dari bag 3 liter dan lokasi infus dirotasi setiap hari.

26%
Nassaji-Zavareh M, Ghorbani.R.
300 pasien di bangsal penyakit dalam dan bedah

39%
Manuel Monreal dkk
766 pasien dengan pnemonia akut yang membutuhkan terapi intravena

35%
Joan Webster dkk.
755 pasien

Flebitis bisa disebabkan berbagai faktor sebagaimana disebutkan di atas

FLEBITIS KIMIA
1) pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3 – 5, di mana keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida, vancomycin, amphotrecin B, cephalosporins, diazepam, midazolam dan banyak obat khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral.
2) Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis. Jadi , kalau diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan penggunaan filter 1 sampai 5 µm
3) Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Hindarkan vena pada punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut



Jangan gunakan vena punggung tangan bila anda memberikan : Asam Amino + glukosa; Glukosa + elektrolit; D5 atau NS yang telah dicampur dengan obat suntik atau Meylon dan lain-lain.

4) Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih thermoplastik dan lentur. Risiko tertinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen.
5) Dulu dianggap pemberian infus lambat kurang menyebabkan iritasi daripada pemberian cepat.

FLEBITIS MEKANIS
Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik.

FLEBITIS BAKTERIAL
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi:
1) Teknik pencucian tangan yang buruk
2) Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau robek mengundang bakteri.
3) Teknik aseptik tidak baik
4) Teknik pemasangan kanula yang buruk
5) Kanula dipasang terlalu lama
6) Tempat suntik jarang diinspeksi visual


Bagaimana mendeteksi dan menilai adanya flebitis selama pemasangan infus?Skor visual untuk flebitis telah dikembangkan oleh Andrew Jackson (8) sebagai berikut:


Bagaimana mencegah dan mengatasi flebitis?Di samping pedoman sederhana di atas, bisa dipertimbangkan strategi berikut
1) Mencegah flebitis bakterialUraian rinci mengenai pedoman pencegahan infeksi kateter bisa diunduh dari situs www.pediatrics.org. Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan chlorhexidine-2%, tinctura yodium , iodofor atau alkohol 70% juga bisa digunakan.
2) Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik. Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian infus IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan terjadi kira-kira 45 – 50% dalam serangkaian besar kajian.
3) Rotasi kanulaMay dkk(2005) melaporkan hasil 4 teknik pemberian PPN, di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh Webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam JIKA tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi, namun rekomendasi ini tidak didasarkan atas bukti yang cukup
4) Aseptic dressingDianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa setril diganti setiap 24 jam
5) Laju pemberianPara ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Kanula harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus jaga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.
6) Titrable acidityTitratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan dalam kejadian flebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi flebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L). (13) Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko flebitisnya.
7) Heparin & hidrokortisonHeparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter (14,15). Risiko flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial (16). Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.
8) In-line filter In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat intravaskular dan sistem infus (16).

KESIMPULANFlebitis masih merupakan masalah lazim dalam terapi cairan, ketika kita memberikan obat intravena, terapi cairan rumatan serta nutrisi parenteral. Berbagai faktor terkait dan faktor-faktor predisposisi meliputi usia lanjut, trauma, ukuran kateter besar, diabetes, infeksi, hiperosmolaritas, pH, teknik aseptik yang jelek dll. Klinisi harus memikirkan sebab-sebab multifaktor ini dan melakukan pemantauan ketat untuk mencegah dan mengatasi komplikasi serius.